Jumat, 14 Maret 2014

riwayat abu yazid

TASAWUF ABU YAZID AL BUSTAMI


PENDAHULUAN


Tokoh yang satu ini meskipun tergolong orang kaya dan berkecukupan tetapi beliau malah memilih menjalani hidup sederhana. Abu Yazid al-Bustami memang mempunyai beberapa kelebihan sejak dari kandungan ibunya, kondisi yang demikian ini tentunya hanya dirasakan dan dialami oleh ibunya.
Perkembangan intelektualnya sangat luar biasa, beliau terkenal cerdas dan mampu melakukantugas dengan cekatan meskipun masih pada usia anak-anak yang semestinya tidak dapat dilakukan oleh manusia seusia mereka, tetapi Abu Yazid al-Bustami dapat melakukaknnya. Hal yang demikian tentu saja membuat orang-orang yang melihatnya terkagun-kagum, meskipun begitu manusia istimewa yang lahir di Persia ini tetap rendah hati tidak menampakkan kesombongan sedikitpun.
Ia dikenal dengan orang yang zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid al-Bustamu mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum. Tetapi meskipun menjalani hidup yang sederhana beliau tidak mengeluh sedikitpun.
PEMBAHASAN
A. Nama Lengkap AbuYazid al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami. Ia lahir di daerah Bustam (Persia) Tahun 874M sampai dengan 947M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh m,engikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu surat dari al-Qur’an surat Luqman.”Terima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu,” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang ke rumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.



B. Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajran tasawuf Abu Yazid yang terpenting adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya’, yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Mengikapi hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (w,378H/988M) mendefinisikan; hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
Setelah allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Lalu diriku dicap dengan keridaanNya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan,’ kataNya. Engkaulah yang aku inginkan,’ jawabku,’’ karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapatkan kepuasan dalam diriMu.
Jalan menuju fana’, menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepadaMu.” Tuhan menjawab,”Tinggalkan diri (nafsu)mudan kemarilah,” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya.
أَعْرِفُهُ حَتَّى فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’ kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup,”
Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’ dari segi bahasa artinya tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti medirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah, faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan fahan fana’ , keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga seang mengalamai baqa’. Dengan demikian dua kondisi dan situasi antara fana’ dan baqa’ adalah sebuah situasi yang tidak dapat dipisahkan atau tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, keduanya saling mendukung dan menopang.





Ketika sedang menrangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, al-Qusyairi menyatakan, “bahwa barang siapa yang meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang fana’, syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah. Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan , ia sedang fana’ dari keinginannya, dengan demikian berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya dan ketulusan pengabdiannya.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seseorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit di praktekkan dan mmasih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu dianalisis lenih lanjut. Namun menurut Harun Nasutiom uraian tentang ittihad banyak terdapat dalam buku karya para orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seseorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya., Dalam paparan Harun Nasution tahapan ittihad adalah satu tingkatan ketika seseorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata,”Hai aku,”
Dengan mengutip pendangan A.R al-Baidawi, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, walaupun sesungguhnya ada dua wujud yang terpisah satu dengan lainnya. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bias terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, karena fana’nya telah tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Dalam dunia fana’nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah berada di dekat Tuhan dapat dilihat dari syathahat yang diucapkannya. Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan orang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian ini belum pernah didengar dari sufi sebelumnya. Ucapan Abu Yazid adalah :



لَسْتُ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِيْ لَكَ فَأَ نَاعَبْدٌ فَقِيْرٌ وَلكِنّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ



“Aku tidak heran terhadap cintaku kepada-Mu, karena aku adalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa,”
Tatkala berada dalam tahapa ittihad, Abu Yazid berkata:



قَالَ: يَاأَبَايَزِيْدَإِنَّهُمْ كُلُّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ. فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا أَنْتَ.



“Tuhan berkata, “Hai Abu Yazid! Mereka Semua, kecuali engkau, adalah makhluk. Akupun berkata, :”Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau,”
Selanjutnya Abu Yazid berkala lagi:
فَانْقَطَعَ الْمُنَاجَةُ فَصَارَالْكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَالْكُلُّ بِالْكُلّ وَاحِدًا.فَقَالَ لِيْ: يَاأَنْتَ،فَقُلْتُ بِهِ:يَاأَنَا,فَقَالَ لِيْ:أَنْتَ الْفَرْدُ.قُلْتُ:أَنَاالْفَرْدُ.فَقَالَ لِيْ: أَنْتَ أَنْتَ، قُلْتُ: أَنَاأَنَا.




“Konversasipun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Iapun berkata,”hai engkau”. Akupun dengan perantaraan-Nya, menjawab. “Akulah yang satu”. Ia berkata lagi, Engkau adalah Engkau. Aku balik menjawab, Aku adalah Aku,”
Sehabis salat Subuh, Abu Yazid pernah berucap,
إِنَّنِيْ أَنَااللهُ لاَإِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِيْ.
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan Selain Aku, Maka sembahlah Aku,”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,”Siapa yang engkau cari?” Orang tersebut menjawab,”Abu Yazid. Lalu Abu Yazid berkata,”Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kacuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi,”
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau didengar secara sepintas akan memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh Karena itu, dalam sejarah, diantara para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjara disebabkan oleh ucapannya yang membingungkan umat.
Oleh karena itulah, maka untuk mencerna ucapan-ucapan Abu Yazid hendaknya dilakukan dengan cermin hati yang baijaksana jauh dari emosi dan prasangka buruk. Hal ini untuk menjauhkan (menghindari) kesan yang kurang baik terhadap Abu Yazid, sehingga akan menimbulkan kebingunan. Akan lebih baik apabila ditelaah dengan detail kemudian ditarik dengan garis lurus sebagai seseorang yang sangat mencintainya Tuhannya.



KESIMPULAN
1. Abu Yazid lahir dalam keluarga yang kaya raya, tetapi ia menjauh dan pergi dari kekayaannya tersebut untuk menemukan kehidupan yang damai dan sejahtera.
2. Abu Yazid adalah makhluk yang sangat mencintai Allah, bahkan melebihi segalanya. Sehingga ia berani mengambil resiko yang kontras demi menggapai cintanya kepada Allah.
3. Abu Yazid sangat peduli terhadap penderiatan sesame manusia. Meskipun seringkali ditanggapi kurang baik oleh lingkungan disebabkan ajaran-ajarannya yang dianggap membingungkan meski pada dasarnya sama sekali jauh dari perbuatan yang sesat.
4. Hendaknya kita meneladani apa-apa yang telah dilakukan oleh Abu Yazid, khususnya masalah yang mengambil hidup zuhud (menjauh dari hal-hal keduniaan) meskipun ia lahir pada keluarga yang kaya raya.
5. Hendaknya kita meneladani bagaimana Abu Yazid dapat mencintai Allah dengan segala upayanya, bahkan melebihi segalanya, sehingga Abu Yazid mampu berada di dekat Tuhan.
6. Hendaknya dalam hidup, manusia harus selalu mendendangkan (mengingat) Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga dalam setiap gerak kehidupannya ia selalu merasa diawasi dan ditemani oleh Tuhan.

makalah abu yazid

MAKALAH ABU YAZID AL-BUSTAMI

26 Jun 2010. 
A. Riwayat Hidup Bustami
Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi sering juga disebut Bayazid . Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur ibn Surusyam. Ia lahir diwilayah Qum di Persia Barat Laut tahun 188-261 H/804-875 M. Ia adalah putra seorang ayah yang menganut keyakinan Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam adalah pemuka masyarakat di Biston dan ibunya dikenal sebgai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama Majusi .
Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu kemudian mendalami tasawuf. Sebagian besar kehidupan “sufi” dan “abid”nya dilaluinya di Biston. Ia selalu mendapat tekanan dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta Penduduk di kota kelahirannya yang tidak mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya wafat pada tahun 261 H bertepatan dengan tahun 875 M .
Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau ungkapan ketuhanan misalnya ungkapannya :
“Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj . Setelah ia wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormatterhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi.
Pengikut al-Bustami kemuidian mengembangkan ajaran tasawufdengan membentuk suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur. Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’, Maghrib (meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai sebagai wali atau orang yang memiliki kekaramatan. Sultan Moghul, Muhammad Khudabanda memberi kubahpada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas saran penasehat agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin .
B. Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami : al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad
Ahli sufi berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga hijriah. Pertama,aliran sufi ynag pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah atau dengan kata lain tasawuf yang mengacu kepada syari’at dan para sufinya adalah para ulama terkenal serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal. Kedua, adalah aliran sufi yang terpesona dengan keadaan-keadaan fana’ sering mengucapkan kata-kata yang ganjil yang terkenal dengan nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia berada digerbang ittihad . Mereka menumbuhkan konsep-konsep manusia melebur dengan Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung metafisis.Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa , Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela .
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk . Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya .
Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs .
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.
Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan” .
Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun .
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.
Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti :
“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku” .
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu, Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi” .
Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran. Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud.Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi :
a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh;
b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia;
c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya;
d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan
e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj .
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya :
“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)
Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana” .
Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau . sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.
C. Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami
Apabila dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat
dikategorikan sebagai paham yang menyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya “Aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku” yang telah dikemukakan diatas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada saat Fana’. Namun kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan biasa (tidak dalam keadaan Fana’) yang mengatakan “kalau kamu lihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar,walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlahkamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”, maka dapat dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari’at. Memang ungkapan-ungkapan al-Bustami seakan-akan beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat lidah al-Bustami yang sedang dalam keadaan Fana’al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan :
“Sesungguhnya yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana’”. Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya menimbulkan berbagai tanggapan.
Al-Tusi mengatakan : Ucapan ganji (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan . Seorang sufi yang sedang trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit untuk bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam kalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya.
Oleh sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan. Menurut pendapat yang mengatakan ketika Fana’ hilang sifat-sifat mereka dan masuk sifat-sifat Yang Maha Benar adalah keliru, karena dapat mengantar mereka kepada Hulul atau penyatuan manusia dengan Tuhan. Sebab Tuhan tidak Hulul dalam kalbu tetapi yang bertempat dalam kalbu adalah keimanan kepada-Nya, pembenaran kepada-Nya dan pengenalan akan dia.
Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri dan perkataan tersebut tidak akan terucap dalam kondisi normal bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri .
Al-Junaid mengatakan bahwa seorang sufi yang dalam keadaan trance tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri tapi tentang apa yang disaksikannya yaitu Allah. Ia sangat terbuai sehingga tidak ada yang disaksikan kecuali Allah. Al-Junaidi menilai bahwa al-Bustami adalah termasuk para sufi yang tidak bisa mengendalikan diri serta tunduk pad intiusi sehingga tidak bisa menjadi panutan sufi lainnya. Demikian pula menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang sufi yang trance dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan dilaksanakan. Semantara itu ulama yang berpegang teguh kepada syari’at secara zhahir menuduhnya sebagai sufi kafir karena menyamakan dirinya dengan Allah dan ulama yang lain mentolerir ucapan semacam itu dianggap sebagai penyelewengan dan bukan kekafiran .
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas ternyata ungkapan-ungkapan al-Bustami disampaikan dalam keadaan Fana’ dan tidak dapat dijadikan pedoman karena diucapkan dalam keadaan tidak sadar atau tidak dalam keadaan mukallaf yangb sempurna, oleh sebab itu, tidaklah tepat kalau ia dituduh sebagai seorang sufi yang kafir. Lagi pula faham Fana’ dan Baqa’ yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dapat dipandang sejalan dengan konsep liqa al-arabbi.Fana’ dan Baqa’ merupakan jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110 diatas, ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya.

makalah akidah ahklaq

ABU YAZID AL-BUSTAMI DENGAN KONSEP TASAWUFNYA

BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang
Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas, namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan pemikiran keislaman melalui data-data (naskah-naskah) yang dihasilkan oleh para pemikir terdahulu (ulama terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut pun sangat beragam dan di antara tema yang cukup dominan serta telah banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Secara sederhana dapat dikemukakan, bahwa tasawuf merupkan aspek esoteric atau aspek batin yang harus dibedakan dari aspek eksoterik atau aspek lahir dalam islam.[1] Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan mistisesme dalam islam, adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan langsung dan dekat dengan tuhan, sehingga dirasakan benar bahwa seseorang sedang berada di hadiratnya, yang intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan tuhan dengan mangasingkan diri dan berkontemplasi[2].
Dalam islam kita mengenal dua aliran tasawuf, Pertama, aliran tasawuf falsafi, dimana para pengikutnya cederung pada ungkapan-ungkapan ganjil(syatahiyyat), serta mertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan antara hamba dengan tuhan. Kedua, aliran tasawuf amali, dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan sayriat yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah mereka dengan keduanya.[3] Dan ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu: tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan Tasawuf Falsafi.[4]
Diantara para sufi yang menganut aliran tasawuf Irfani adalah sufi yang terkenal dengan konsep fana`, baqa` dan al-Ittihad yang kita kenal dengan nama Abu Yazid al-Bustami.
  1. B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis dalam rumusan makalahnya mencoba untuk memaparkan Riwayat hidup Abu Yazid Al-Bustami dan konsep ajaran tasawuf-Nya yang kita kenal dengan istilah “Fana`, Baqa` dan Ittihad”.









BAB II
PEMBAHASAN
  1. I. Riwayat Hidup Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid al-Bustami lahir di Bustam, bagian timur laut Persia tahun: 188 H – 261 H/874 – 947 M. Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Adam bin Surusyan. Semasa kecilnya ia dipanggil Thaifur, kakeknya bernama Surusyan yang menganut ajaran Zoroaster yang telah memeluk Islam dan ayahnya salah seorang tokoh masyarakat di Bustam.[5]
Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan Ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga Ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya, suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu” ayat ini sanagat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemuia Ibynya, sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiapo panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memeakan waktu puluhan tahun, sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku
Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, Ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut mazhab hanafi.
Setelah itu, ia memperoleh pelajaran ilmu tauhid. Namun pada akhirnya kehidupannya berubah dan memasuki dunia tasawuf.
Abu Yazid adalah orang yang pertama yang mempopulerkan sebutan al-Fana dan al-Baqa` dalam tasawuf. Ia adalah syaikh yang paling tinggi maqam dan kemuliannya, ia sangat istimewa di kalangan kaum sufi. Ia diakui salah satu sufi terbesar. Karena ia menggabungkan penolakan kesenangan dunia yang ketat dan kepatuhan pada iter agama dengan gaya intelektual yang luar biasa.
Abu Yazid pernah berkata: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun ia sanggup terbang ke udara, maka janganlah kamu tertipu sebelum kamu lihat bagaimana ia mengikuti suruhan dan menghentikan dan menjaga batas-batas syari`at.[6]
Dalam perkataan ini jelaslah bahwa tasawuf beliau tidak keluar dari pada garis-garis syara` tetapi selain dari perkataan yang jelas dan terang itu, terdapat pul akata-kata beliau yang ganjil-ganjil dan mempunyai pengertian yang dalam. Dari mulut beliau seringkali memberikan ucapan-ucapan yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan tuhan sewaktu-waktu dapat berpadu dan bersatu. Inilah yang dinamakan Mazhab Hulul atau Perpaduan.[7]
Abu Yazid meninggal dunia pada tahun 261 H/947 M, jadi beliau meninggal dunia di usia 73 tahun dan dimakamkan di Bustam, dan makamnya masih ada sampai sekarang.
  1. II. Konsep Thasawuf Abu Yazid al-Bustami
    1. 1. al-Fana dan al-Baqa`
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah Fana` dan Baqa`. Secara harfiah fana` berarti meninggal dan musnah, dalam kaitan dengan sufi, maka sebutan tersebut biasanya digunakan dengan proposisi: fana`an yang artinya kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu.[8]
Sedangkan Dari segi bahasa kata fana` berasal dari kata bahasa Arab yakni faniya-yafna yang berarti musnah, lenyap, hilang atau hancur[9]. Dalam istilah tasawuf, Fana adakalanya diartikan sebagai keadaaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (W.378 H/988 M) mendefinisikannya“hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tikdak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaaannya dan dapat memebedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepantingan ketika berbuat sesuatu”.[10]
Sedangkan dalam Sufism and syari`ah kata fana` berarti to die and disappear. (mati dan menghilang). Al-Fana` juga berarti memutuskan hubungan selain Allah, dan mengkhususkan untuk Allah dan bersatu dengannya.
Adapun arti fana` menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Pendapat lain, fana` berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan, dapat pula berarti hilangnnya sifat-sifat yang tercela. Selain itu Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana` adalah lenyapnya indrawi atau ke-basyariahan, yakni sifat manusia yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat dari pada alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana` dari alam cipta atau dari alam makhluk.
Sedangkan Abdurrauf Singkel mengungkapkan tentang fana` dan ini menurut istilah para sufi adalah berarti hilang dan lenyap, sedangkan lawan katanya adalah baqa`, dan lebih jelasnya sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Jawahir, fana` adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah ta`ala berada pada segala sesuatu.[11]
Dalam  menjelaskan  pengertian  fana’,  al-Qusyairi menulis, “Fananya  seseorang  dari  dirinya  dan  dari  makhluk  lain terjadi  dengan  hilangnya  kesadaran  tentang  dirinya  dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap  ada,  demikian  pula makhluk  lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi  tentang  dirinya  dan  makhluk lain  lenyap  dan  pergi  ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad.”[12]
Dengan demikian fana` bagi seorang sufi adalah mengharapkan kematian itera, maksudnya adalah mematikan diri dari pengaruh dunia. Sehingga yang tersisa hidup didalam dirinya hanyalah Tuhan semesta.
Jadi seorang sufi dapat bersatu dengan tuhan, bila terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan bersatu dengan tuhan.
Penghancuran diri tersebut senantiasa diiringi dengan baqa`, yang berarti to live and survive (hidup dan terus hidup),
Adapun baqa`, berasal dari kata baqiya. Artinya dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Dalam kaitan dengan Sufi, maka sebutan Baq` biasanya digunakan dengan proposisi: baqa` bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama sesuatu.[13]
Dalam kamus al-Kautsar, baqa` berarti tetap, tinggal, kekal.[14] Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan, sehingga yang tersisa adalah kecintaan kepadanya.
Dalam tasawuf, fana` dan Baqa` itera beriringan, sebagaiamana dinyatakan oleh para ahli tasawuf: “Apabila nampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekal. Tasawuf itu ialah fana` dari dirinya dan baqa` dengan tuhannya, karena hati mereka bersama Allah”.
Sebagai akibat dari fana` adalah baqa`. Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana`) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana` dicapai setelah meniggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
“Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena Engkau lebih utama daripada anugrah lebih besar daripada kemurahan, dan melalui engkau aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu…”
Jalan menuju fana` menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap tuhan, ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (Nafsu)mud an kemarilah.”
Abu Yazid sendiri pernah melontarkan kata fana` pada salah satu ucapannya:
أَعْرِفُهُ حَتىَّ فَنَيْتُ ثُمَّ عَرَفْتُهُ بِهِ فَحَيَيْتُ
Artinya:
“Aku tahu pada tuhan melalui diriku hingga aku fana`, kemudian aku tahu pada-nya melalui dirinya maka aku pun hidup.” (B 132)
Paham baqa` tidak dapat dipisahkan dengan paham fana` karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana`, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa`.
Dalam menerangkan kaitan antara fana` dan baqa` al-Qusyairi menyatakan,“Barangsiapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana` dari syahwatnya. Tatkala fana` dari syahwatnya, ia baqa` dalam niat dan keikhlasan ibadah;… Barangsiapa yang hatinya zuhud dari khidupan maka ia sedang fana` dari keinginannya, berarti pula sedang baqa` dalam ketulusan inabahnya…”
Tetapi fana` dan baqa` yang sangat esensial dan penting bagi sufisme sebenarnya bukan yang satu atau yan lain, tetapi ia adalah; pengalaman afektif. Dalam rangka memahami pengalaman ini, maka para Sufi harus mengikuti prosedur. Dalam qaul al-Jamil, seorang Sufi India terkemuka, Syah Wali Allah (wafat  1176/1762) merinci prosedur dari tiga organisasi Sufi Utama, yaitu Qadariyyah, Chistiyyah dan Naqsyabandiyyah. Mereka tegak dalam prinsip yang sama, walau berbeda dalam rinci. Berikut akan diringkaskan prosedur yang diikuti oleh thariqat Qadariyyah.[15]
Seorang calon Sufi pertama kali harus mengikuti tahap persiapan. Ia harus mempunyai iman yang bear, menjauhi perbuatan munkar, menjauhi dosa-dosa besar (kaba-ir) dan menjauhi dosa-dosa kecil (shagha-ir) sebanyak mungkin. Ia harus shalat wajib dan berbagai kewajiban (fara-id) yang diwajibkan syariah atasmya dan menjalankan sunnah Rasul yang terpuji.[16]
Dengan demikian, Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau  hancur  dan  sesuatu  yang lain   akan  baqa  atau  tinggal.  Dalam  iterature  tasawuf disebutkan,  orang  yang  fana  dari  kejahatan  akan   baqa(tinggal)  ilmu  dalam dirinya; orang yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam  dirinya.  Dengan  demikian, yang  tinggal  dalam  dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan  sesuatu  yang  lain  akan  timbul sebagai  gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul  sifat  baik.  Hilang  maksiat  akan timbul takwa.[17]
  1. 2. al-Ittihad
Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang artinya (dua benda) menjadi satu[18], yang dalam istilah Para Sufi adalah satu tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan tuhan.[19] Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia melalui tahapan fana` dan baqa`. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupaun perbuatannya[20].
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan ketika seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku…”.[21]
Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam ittihadyang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad telah hilang atau tegasnya antara sufi dan tuhan.[22]
Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana`-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama tuhan.
Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya menyatakan;
Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu merasa bersatu dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan tuhan; inilah ydng disebut tingkat bersatu (maqam i-jam`). Pada tahap selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik adalah kesadaran akan adanya Maha Zat yang sangat berbeda. Kaum Sufi memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`; secara harfiah adalah bersatunya kebersatuan).[23]
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut;
Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada (al-haqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi yang lain, ia merupakan pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-an); pluralitas menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam kesatuan Murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”, sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan (fana`) atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya (fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad) tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).[24]
Ketika sampai ke  ambang  pintu  ittihad  dari  sufi  keluar ungkapan-ungkapan  ganjil  yang  dalam  istilah sufi disebut syatahat (ucapan  teopatis).[25]
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat[26] yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:[27]
لَسْتُ أَتَعَجَّبَ مِنْ حُبِّيْ لَكَ فَأَنَا عَبْدٌ فَقِيْرٌ
وَلَكِنِّيْ أَتَعَجَّبُ مِنْ حُبِّكَ لِيْ وَأَنْتَ مَلِكٌ قَدِيْرٌ
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja Mahakuasa”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
قَالَ : يَا أَبَا يَزِيْدَ إِنَّهُمْ كُلَّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ: فَأَنْتَ أَنَا وَأَنَا أَنْتَ
Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
فَانْقَطَعَ المُنَاجَةُ فَصَارَ الكَلِمَةُ وَاحِدَةً وَصَارَ الكُلُّ بِالكُلِّ وَاحِدًا. فَقَالَ لِي: يَا أَنْتَ، فَقُلْتُ بِهِ: يَا أَنَا، فَقَالَ لِي: أَنْتَ الفَرْدُ. قُلْتُ : أَنَا الفَرْدُ قَالَ لِي: أَنْتَ أَنْتَ: أَنَا أَنَا
Artinya:
“Konversasi pun terpututs, kata menjadi stu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”
إِنِّيْ أَنَا اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
Artinya:
“Tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”, Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha kuasa dan Mahatinggi.
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya  ditolak  Abu  Yazid.  Ia tetap  meminta  bersatu  dengan  Tuhan.  Ini  kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan  keesaan-Mu.”  Permintaan Abu   Yazid   dikabulkan  Tuhan  dan  terjadilah  persatuan, sebagaimana  terungkap  dari  kata-kata  berikut  ini,  “Abu Yazid,  semuanya  kecuali  engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[28]
Ucapan-ucapan Abu Yazid diatas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu didalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[29]
Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid. Menurut penulis bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana`an nafs.
Abu Yazid tidak mengakui dirinya sebagai tuhan seperti Fir`aun. Proses ittihad di sisis Abu yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirnya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah tersebut diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Abu Yazid mempunyai peluang yang besar untuk menjadi sufi karena memang ia dibesarkan dari keluarga yang taat beragama. Dimana Ibunya adalah zahidah ayahnya adalah pemuka masyarakat dan dua orang saudaranya termasuk sufi. Walaupun tidak seterkenal dirinya. Mulanya ia belajar agama di masjid tempat kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke berbagai daerah dan akhir kehidupannya berubah menjadi seorang sufi dengan ajaran tasawufnya al-fana` albaqa` dan al-Ittihad.
  2. Sebelum Abu Yazid mencapai tingkat ittihad, ia mengawali maqamnya dengan fana` dan baqa` yang merupakan dua kembar yang tidak dapat dipisahkan dalam pencapaian al-Ittihad, al-Fana` adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang tercela kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan al-Baqa` adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan dari dosa dan maksiat. Sedangkan al-itthad adalah menyatunya jiwa manusia dengan tuhan, untuk mencapai  hal tersebut harus dilakukan usaha-usaha yang maksimal seperti taubat, zikir ibadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji.
  3. Untuk   sampai   ke  ittihad,  sufi  harus  terlebih  dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi  terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti  kesadaran  tentang  diri sendiri  hancur  dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspek, Jilid II, (Cet. I; Jakarta; UI Press, 2002)
Oman fathurrahman, Loc. Cit
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (Cet. II; Bandung, Pustaka Setia, 2004)
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit. h. 130
Drs. H.M Ruddin Emang, Akhlaq Tasawuf, (Identitas, Ujungpandang; 1994)
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Tradisi Syari`ah dengan Sufisme, (Cet. I, PT.Rajagrafindo Persada; Jakarta; 1997)
Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Arab – Indonesia), (Darussagaf P.P. Alawy; Surabaya, 1997)
DR. Rosihan Anwar, M.Ag dan DR. Mukhtar Solihin, M.Ag, Loc. Cit. h. 130
Oman fathurrahman, Tanbih al-Masyi; menyoal wahdatul wujud kasus Abdurrauf singkel di Aceh Abad 17, (Cet. I, Mizan; Jakarta, 1999)http://www.media.isnet.org/islam/index.html
Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari, Loc. Cit

Selasa, 04 Maret 2014

mkalah

Enam Kiat Memaknai Kehidupan


Banyak sisi negatif dan positif dalam mengarungi kehidupan ini. Sisi negatif terlahir dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian manusia mengenai hakikat dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Keberadaan Manusia sebagai makhluk sempurna tidak saja sebagai pemimpin di muka bumi ini, tetapi manusia juga telah diberi amanah untuk menjadi pemelihara kestabilan alam sebagai awal dari akhir penentuan manusia kelak.

Jika manusia mampu menjalankan amanah dan mampu mengenal dirinya sebagai hamba Allah, maka akan lahir sebuah kehidupan yang positif, akan tetapi jika hal tersebut tidak dilakukan dengan baik maka sisi negatiflah yang akan menjulang tinggi yang lambat laun akan menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri.[1] Untuk itu, perlulah kita melakukan analisa diri dan selalu mengkaji diri kita, apakah kita termasuk orang yang mampu memaknai kehidupan ini dengan baik atau sebaliknya.

Untuk memaknai kehidupan ini secara sempurna dengan tujuan yang baik perlu dilakukan beberapa kiat. Enam kiat ini diharapkan dapat memotivasi kita untuk menjadi manusia yang sesungguhnya yaitu Manusia yang bertanggung jawab dan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun untuk seluruh alam semesta.

Enam kiat memaknai kehidupan yaitu:

1. Mulai Dengan Nama Allah

بسم الله الرحمن الرحيم Dengan Nama allah yang Maha Pengasih dan Penyayang


Hidup adalah milik Allah, maka mulailah hidup ini selalu mengingat Allah. Karena Allah sampai hari ini masih memberikan nikmat dan karunianya kepada kita semua. Bagi mereka yang melupakan ini berarti mereka merupakan makhluk yang lupa bahwa kelak jika sudah waktunya ia akan kembali kepada sang pemilik nyawa Allah Swt.[2]

Muslim memulai segala sesuatu harus dengan mengingat Allah dengan memohon dan berserah diri hanya kepada Allah semata. Memulai apapun dalam bingkai kasih sayang adalah ciri muslim sejati. Maka jika kita ingin disayangi Allah maka tebarkanlah kasih sayang.[3]

2. Bersyukur dan Kerja Maksimal

الحمد لله رب العالمين Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta alam

Jika ada zat yang layak dipuji, maka Ia adalah Allah. Allah adalah Tuhan yang maha esa yang selalu mencurahkan segala rezeki di alam semesta ini. Manusia yang mampu memaknai kehidupan ini dengan bijak adalah manusia yang selalu bersyukur dan berterima kasih dalam keadaan apapun.[4]

Dalam keadaan susah, senang, kaya, miskin dan apapun bentuknya kita wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, karena hingga saat ini kita tidak akan mampu membayar segala apa yang masih kita nikmati walaupun seluruh alam siap bersedia memberikan segala fasilitas untuk menuliskan satu persatu nikmat dari Allah yang masih kita rasakan. Oleh karena itu, orang yang bijak adalah orang yang selalu berterima kasih dan bersyukur kepada Allah

3. Harus menjadi yang terbaik dan tebar kasih

الرحمن الرحيم Yang maha Pengasih dan Penya yang

Di ulangi nama terbaik-Nya Yang Maha Pengasih, Maha penyayang, karena Rahmat dan Kasih-Nya lebih dominan daripada Murka-Nya. Allah menginginkan Muslim untuk menjadi makhluk yang selalu menjadi terbaik dan melakukan hal yang terbaik dalam bingkai kasih sayang sebagai makna dari kehidupan yang sesungguhnya.[5]

Untuk seterusnya bersambung dan masih tahap penulisan................

Footnote
[1] Ibrahim Lubis, Mahasiswa Pascasarjana IAIN-SU Medan.
[2] Ibrahim Lubis, Mahasiswa Pascasarjana IAIN-SU Medan.
[3] Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2012), h. 1
[4] Zainal Arifin Zakaria, Ibid

Biografi Soekarno

 Biografi Soekarno


Ir. Soekarno (6 Juni 1901 - 21 Juni 1970) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila.

Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.



Latar belakang dan pendidikan

Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali [1]. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto.

Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa). Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.


Keluarga Soekarno

Putra-putri Soekarno

• Guruh Soekarnoputra
• Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2001-2004
• Guntur Soekarnoputra
• Rachmawati Soekarnoputri
• Sukmawati Soekarnoputri
• Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
• Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)


Masa pergerakan nasional

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.


Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur

Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.

Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.


Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.

Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.

Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.


Masa Perang Revolusi

Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.

Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.

Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.


Masa kemerdekaan

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.

Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.

Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).

Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.


Sakit hingga wafat

Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.


REFERENSI
Dr. Syafiq A. Mughnie,M.A.,PhD. Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal. PT. Bina Ilmu, 1994
Leslie H. Palmier. Sukarno, the Nationalist. Pacific Affairs, vol. 30, No, 2 (Jun. 1957)
Bob Hering, 2001, Soekarno, architect of a nation, 1901-1970, KIT Publishers Amsterdam, ISBN 90-6832-510-8, KITLV Leiden, ISBN 90-6718-178-1
Lambert J. Giebels, 1999, Soekarno. Nederlandsch onderdaan. Biografie 1901-1950. Deel I, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2114-7
Lambert J. Giebels, 2001, Soekarno. President, 1950-1970, Deel II, uitgeverij Bert Bakker Amsterdam, ISBN 90-351-2294-1 geb., ISBN 90-351-2325-5 pbk.
Lambert J. Giebels, 2005, De stille genocide: de fatale gebeurtenissen rond de val van de Indonesische president Soekarno, ISBN 90-351-2871-0

artikel islami

Celse Idaman Orang Tua (Inspirasi dalam Membaca Al quran)

Ternyata Allah memang maha kuasa, dari berbagai penelitian dan asumsi yang mengatakan bahwa saat ini banyak generasi penerus sudah tidak ada yang peduli dengan Al quran. Jangankan untuk mengerti Bahasa Al quran, memahami Al quran, membacanya saja untuk saat ini banyak dari generasi penerus kita hanya sedikit yang mampu membacanya dengan baik dan benar.

Permasalahan di atas terjadi karena ketidakpedulian generasi penerus yang mau belajar dengan sungguh-sungguh untuk belajar membaca Al quran. Belajar membaca Al quran dianggap sebagai hal kuno, ketinggalan jaman dan sebagainya. Mereka lebih giat untuk belajar pelajaran umum yang bersifat duniawi seperti bahasa Inggris, Matematika dan yang lain. Memang tidak salah mempelajari hal tersebut, Namun sebagai umat Islam sudah sewajarnya kita harus mengetahui, memahami dan minimal mampu membaca Al quran dengan baik dan benar.

Perlu kita ketahui bahwa Al quran merupakan kitab suci umat Islam, Pedoman Umat Islam, Petunjuk umat Islam dan yang paling penting adalah bahwa kesuksesan Manusia baik di dunia dan Akhirat adalah mereka yang mampu melaksanakan perintah Allah dengan menjadikan Al quran sebagai pedaoman. Jadi bagaimana kita bisa menjadikan Al quran sebagai pedoman, sementara kita tidak bisa membacanya.

Namun, ketika saya ibrahim lubis menemukan sesuatu hal yang saya anggap sangat luar biasa sehingga saya berkeinginan untuk menjadikannya sebuah tulisan dalam artikel ini. Apa yang saya temukan? Apa yang luar biasa?

Celse Idaman Orang Tua (Inspirasi dalam Membaca Al quran)

Pertanyaan itu terjawab ketika saya melaksanakan sebuah pengajian untuk anak-anak di Masjid Amaliyah di Helvetia Medan Sumatera Utara. Saya mengajari Anak-anak untuk membaca Al quran dengan baik dan benar. Santri yang saya ajarkan sebanyak 50 orang, dan terus terang dari 50 santri yang saya ajarkan hanya 5% saja yang mampu membaca Al quran dengan baik, selebihnya masih terbata-bata.

Nah.., yang membuat saya terkesan adalah ketika ada seorang santriwati yang bernama Celse dengan usia kurang lebih 5 tahun, telah mampu membaca Al quran dengan baik dan benar. Lafaz-lafaz huruf yang disebutkannya sangat jelas dan benar, bahkan huruf yang sulit seperti ع ح ض ص ش ذ dan yang lainnya mampu di baca anak berumur 5 tahun ini.

Selain itu, ilmu tajwidnya pun telah banyak yang diketahuinya seperti hukum Ikhfa, iklab, izhar, idghom dan Mad. Ditambah lagi dengan nada yang syahdu ketika Seorang anak yang bernama Celse ini melantunkan ayat-ayat Al quran. Terus terang saya sebagai guru ngajinya sangat terkesan, karena dari sekian banyak para santri yang saya ajarkan dengan rata-rata umur 6 sampai 10 tahun belum mampu membaca Al quran seperti Anak yang satu ini.

Karena rasa penasaran saya mengapa anak seumur 5 tahun ini mampu membaca al quran dengan baik dan benar, maka saya pun bertanya kepadanya, adapun pertanyaan yang saya ajukan:

Saya: “Celse siapa yang mengajari kamu membaca al quran? Celse menjawab dengan suara yang bernada pelan dan sedikit terbata-bata” yang ajari bunda dan nenek”, kemudian saya bertanya kembali “dah lama celse belajar al quran?” Celse menjawab “sudah”, Berapa lama? “celse lupa, ngak ingat..Pokoknya dah lama”

Celse Idaman Orang Tua (Inspirasi dalam Membaca Al quran)

Dari beberapa dialog di atas tadi saya berkesimpulan bahwa Anak ini telah diberi pembelajaran Al quran sejak Ia berumur 3 atau 4 tahun, dan dengan keteguhan orang tuanyalah, Celse mampu membaca alquran dengan fasih plus dengan lantunan suara yang menggeramkan teliga untuk selalu mendengarnya.

Fakta di atas merupakan salah satu bukti bahwa tidak semua anak atau calon generasi penerus kita tidak lagi mau belajar Al quran, terutama belajar membacanya. Namun, bukti ini tertutupi dikarenakan jumlah yang sangat banyak dari anak-anak atau generasi penerus muslim yang tidak mampu membaca al quran dengan baik dan benar, jadi walaupun ada segelincir dari generasi penerus kita yang mau belajar dan mampu membaca Al quran dengan baik tidak dapat mengimbangi banyaknya generasi penerus yang tidak bisa membaca Al quran.

Oleh karena itu, dari fakta di atas yang saya alami sendiri, saya menghimbau bagi yang membaca artikel ini dan bagi para orang tua untuk memberikan pendidikan Agama terutama dalam belajar Al quran harus dilakukan sedini mungkin. Jika hal ini dilakukan kepada generasi penerus kita, maka InsyaAllah, tidak lagi didapati umat islam yang tidak bisa membaca Al quran dengan baik dan benar.

Senin, 03 Maret 2014

KIR

Pentingnya Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan Dalam Pembelajaran



               Tugas pengawas satuan pendidikan tidak hanya melakukan supervisi manajerial kepala sekolah, namun juga membina guru melalui supervisi akademik. Dalam pembinaan guru tentu harus mengacu pada pengembangan kompetensi guru, terutama kompetensi profesional dan pedagogic berkaitan dengan proses pembelajaran. Sejalan dengan perkembangan teknologi serta teori-teori pembelajaran, maka guru pun dituntut mampu menguasai dan memilih pendekatan, model, strategi, dan metode pembelajaran yang tepat, sehingga menjadikan siswa aktif, kreatif, dan belajar dalam suasana senang serta efektif.
Menghadapi tugas tersebut pengawas tentu harus menguasai strategi, metode, teknik pembelajaran dan bimbingan yang up to date. Bila pengetahuan pengawas sudah ketinggalan, apa lagi hanya mengandalkan pengalaman tanpa didukung teori-teori, maka pengawas tidak akan mandapatkan respek dari para guru yang dibinanya.
Salah satu pendekatan dan strategi yang harus dikuasi pengawas adalah Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, atau yang dikenal dengan PAIKEM, Penguasaan pengawas berkenaan dengan PAIKEM ini diharapkan mampu menstimulasi terciptanya dinamika pembelajaran yang sehat dan kondusif yang bermuata pada peningkatan mutu proses dan hasil belajar.

Para ahli pendidikan berpendapat bahwa proses pembelajaran di sekolah sampai saat ini cenderung berpusat kepada guru. Tugas guru adalah menyampaikan materi-materi dan siswa diberi tanggung jawab untuk menghafal semua pengetahuan. Memang pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.
Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang mereka pelajari bukan mengetahuinya, oleh karena itu para pendidik telah berjuang dengan segala cara dengan mencoba untuk membuat apa yang dipelajari siswa disekolah agar dapat dipergunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan sendiri ide-ide, dan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri dalam belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus di upayakan sendiri siswa yang memanjat tangga itu. Tingkat pemahaman siswa menurut model Gagne (1985) dapat dikelompokan menjadi delapan tipe belajar, yaitu: (1) belajar isyarat, (2) stimulus-respon, (3) rangkaian gerak, (4) rangkaian verbal, (5) membedakan, (6) pembentukan konsep, (7) pembentukan aturan dan (8) pemecahan masalah (problem solving).
Di lihat dari urutan belajar, belajar pemecahan masalah adalah tipe belajar paling tinggi karena lebih kompleks, Dalam tipe belajar pemecahan masalah, siswa berusaha menyeleksi dan menggunakan aturan-aturan yang telah dipelajari terdahulu untuk membuat formulasi pemecahan masalah. Lebih jauh Gagne (1985) mengemukakan bahwa kata-kata seperti penemuan (discovery) dan kreatifitas (creativity) kadang-kadang diasosiasikan sebagaii pemecahan masalah.
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karenanya strategi dan metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran tergantung pada pendekatannya. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyatakan bahwa dalam kegiatan inti pembelajaran merupakan proses untuk mencapai Kompetensi Dasar (KD) yang harus dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemadirian sesuai denganbakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik. Kegiatan pembelajaran ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
  1. Makna Pengertian PAIKEM
PAIKEM merupakan singkatan dari Pembelajaran Aktif, Inspiratif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Dalam PAIKEM digunakan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik. Sehingga muara akhir hasil pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.
  1. Tujuan PAIKEM
Pembelajaran berbasis PAIKEM membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir tahap tinggi, berpikir kritis dan berpikir kreatif (critical dan creative thinking). Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (orginality), ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating). Kemampuan memecahkan masalah merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Dalam pembelajaran pemecahan masalah, siswa secara individual atau kelompok diberi tugas untuk memecahkan suatu masalah. Jika memungkinkan masalah diidentifikasi dan dipilih oleh siswa sendiri. Masalah yang diidentifikasi hendaknya yang penting dan mendesak untuk diselesaikan serta  sering dilihat atau diamati oleh siswa sendiri, umpamanya masalah kemiskinan, kejahatan, kemacetan lalu lintas, pembusukan makanan, wabah penyakit, kegagalan panen, pemalsuan produk, atau soal-soal dalam setiap mata pelajaran yang membutuhkan analisis dan pemahaman tingkat tinggi, Dsb..
  1. Prinsip-Prinsip PAIKEM
Prinsip pembelajaran aktifi, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan yang merujuk pada pembelajaran dengan basis kompetensi memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.    Berpusat pada peserta didik agar mencapai kompetensi yang diharapkan. Peserta didik menjadi subjek pembelajaran sehingga keterlibatan aktivitasnya dalam pembelajaran tinggi. Tugas guru adalah mendesain kegiatan pembelajaran agar tersedia ruang dan waktu bagi peserta didik belajar secara aktif dalam mencapai kompetensinya.
b.    Integral agar kompetensi yang dirumuskan dalam KD dan SK tercapai secara utuh. Aspek kompetensi yang terdiri dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan terintegrasi menjadi satu kesatuan.
c.    Pembelajaran dilakukan dengan sudut pandang adanya keunikan individual setiap peserta didik. Peserta didik memiliki karakteristik, potensi, dan kecepatan belajar yang beragam. Oleh karena itu dalam kelas dengan jumlah tertentu, guru perlu memberikan layanan individual agar dapat mengenal dan mengembangkan peserta didiknya.
d.    Pembelajaran dilakukan secara bertahap dan terus menerus menerapkan prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) sehingga mencapai ketuntasan yang ditetapkan. Peserta didik yang belum tuntas diberikan layanan remedial, sedangkan yang sudah tuntas diberikan layanan pengayaan atau melanjutkan pada kompetensi berikutnya.
e.    Pembelajaran dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, sehingga peserta didik menjadi pembelajar yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu guru perlu mendesain pembelajaran yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan atau konteks kehidupan peserta didik dan lingkungan. Berpikir kritis adalah kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality) dan ketajaman pemahaman (insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating). Kemampuan memecahkan masalah (problem solving) adalah kemampuan tahap tinggi siswa dalam mengatasi hambatan, kesulitan maupun ancaman. Metode problem solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
f.     Pembelajaran dilakukan dengan multi strategi dan multimedia sehingga memberikan pengalaman belajaran beragam bagi perserta didik.
  1. Karakteristik PAIKEM
Sesuaidengan singkatan PAIKEM, maka pembelajaran yang berfokus pada siswa, makna, aktivitas, pengalaman dan kemandirian siswa, serta konteks kehidupan dan lingkungan ini memiliki 4 ciri yaitu: mengalami,  komunikasi, interaksi dan refleksi.
a.      Mengalami (pengalaman belajar) antara lain:
  • Melakukan pengamatan
  •  Melakukan percobaan
  • Melakukan penyelidikan
  • Melakukan wawancara
  •  Siswa belajar banyak melalui berbuat
  •  Pengalaman langsung mengaktifkan banyak indera.
b.  Komunikasi, bentuknya antara lain:
  • Mengemukakan pendapat
  • Presentasi laporan
  • Memajangkan hasil kerja
  • Ungkap gagasan
c.   Interaksi, bentuknya antara lain:
  • Diskusi
  • Tanya jawab
  • Lempar lagi pertanyaan
  • Kesalahan makna berpeluang terkoreksi
  • Makna yang terbangun semakin mantap
  • Kualitas hasil belajar meningkat
d.  Kegiatan Refleksi yaitu memikirkan kembali apa yang diperbuat/dipikirkan.
  • Mengapa demikian?
  • Apakah hal itu berlaku untuk …?
  • Untuk perbaikan gagasan/makna
  • Untuk tidak mengulangi kesalahan
  • Peluang lahirkan gagasan baru
Dari karakteristik PAIKEM tersebut, maka guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritas atau haknya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar, memang berada pada diri siswa, tetapi guru bertanggung jawab dalam memberikan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, perhatian, persepsi, retensi, dan transfer dalam belajar, sebagai bentuk tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.
  1. Contoh Kasus
Sebagai bahan kajian berikut ini disajikan sejumlah pandangan, persepsi, atau bahkan kesalahpahaman berkenaan dengan implementasi PAIKEM di sekolah.
1.    PAIKEM membutuhkan alat peraga yang banyak sehingga merepotkan dan membuat guru kurang berminat.
2.    PAIKEM dipandang sebagai model pembelajaran yang mahal, sehingga tidak efektif untuk diterapkan di sekolah.
3.    PAIKEM hanya diisi dengan bernyanyi dan main-main sehingga dipandang tidak efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran.
4.    PAIKEM hanya cocok dilakukan oleh guru yang betul-betul memiliki selera humor yang tinggi (sense of humor) dan rasa percaya diri yang tinggi